Monday, 7 November 2016

Analisis Puisi-Prosa

Rindu

Langit barat yang sedari tadi disesaki tumpang-tindihnya mega-mega, perlahan lengang. Raut jingga, putih, merah, ungu, dan birunya berangsur hilang begitu aku datang. Awan-gemawan berwarna abu gelap seolah menyulap mereka. Entah kemana. Meniru dirimu saja. Ya, dirimu, sahabat yang kurindu.
Gerimis tak berwajah manis. Namun aku masih menempelkan tubuh pada tembok pembatas, setinggi dada. Aku lemas, tapi kupaksakan kakiku menancap tegap pada jembatan yang kini beralas beton. Mataku mengerjap-ngerjap kepada riak sungai di bawahnya. Masih yang sama, hanya saja makin keruh. Permukaannya yang bergelombang tengah mempermainkan sampah plastik, sepertinya bekas roti. Dari atasnya, renyai menjitaki plastik itu sampai terdengar bunyi ‘tik tak tuk’. Tapi benda ringan itu terus melayang-layang. Mendengar suaranya, kau sering menatap dengan sembarang lalu mengeluh, ‘Yah, aku mah malah kalah sama plastik. Gak bisa renang!’
Di sisi kanan paling dangkal sungai itu, setelah aku menjual ikan hasil tangkapan dari sungai, kita sering saling menyepakkan bola plastik. Bahkan saling melempar-lemparkan air, lalu berbarengan kita mengucek mata sambil tetap tertawa. Apalagi kau selalu keliru mencipratkan air pada mukaku. Sayang, yang kulihat kini bukan lagi pepasir yang sering menggelitik telapak kaki kita. Pun air yang mengelus-elus daratan. Kini pinggiran itu telah dihijabi semen yang mengeras, membatasi laju kita setinggi dada. Anak-anak sekarang pun cukup bermain sepak bola sambil menindihkan kedua siku mereka pada pembatas itu, lalu memijit ponsel masing-masing. Tak ada erangan karena terdamprat bola atau cekikikan karena kelilipan air.
“Mulai sekarang, mari lupakan cita-cita,” ujarmu waktu itu, sambil menyandar pada batang pohon pinus.
“Lalu bagaimana dengan cita-citaku di kelas enam SD dulu, menjadi pengusaha ikan bakar? Terus, cita-citamu menjadi pengelola wisata pohon pinus gimana, heh?” Aku tersengat ajakan konyolmu.
“Sekarang kita udah lulus, dilarang bercita-cita, ah,”
“Gak juga, ah. Sayang kan, …”
“ Sayang memang, sebab cita-cita hanya menjadi hak anak orang kaya,”
“Gak bisa, kita pun berhak lah,”
“Berhak mimpi saja, sebab cita-cita pun harus dijemput pakai uang, tanah, modal, kebun atau hewan ternak. Dan, semua itu tak kita punya.”
“Gak lah, gak harus,”
Kau menggeleng-geleng, masih dengan tatapan tak terarah padaku. Memang soal mempertahankan pendapat, kita seperti terpengaruh oleh pohon pinus, keras dan lurus.
Entah kenapa, aku begitu tersinggung. Tanpa permisi aku meninggalkanmu seorang diri. Saat kutoleh, kau tengah melirik kanan-kiri. Kasian sekali!
Kubuktikan argumenku dengan modal nekad, bayangan wajah emak dan abah, serta ongkos pergi ke ibukota. Memang pahit dan berurai airmata. Bertahun-tahun aku menjadi babu sebuah kedai ikan bakar pinja (pinggir jalan) yang ramai pelanggan. Aku mencuci piring dan gelas bekas teh, mengelap meja dan kursi, menyapu sampah dan gundukan abu rokok di kolong-kolong meja, mempreteli isi perut ikan, serta meracik bumbunya. Setelah ilmu dan uangku menumpuk, aku keluar. Kubuka kedai sendiri. Masih kerdil, pedih dan berduri alur hidupku, namun aku terlanjur berjanji. Aku akan pulang sambil memonggok cita-cita ke hadapanmu. Kan kujungkir-balikkan pendapatmu itu.
Gerimis makin sadis. Rupanya mataku mengembun. Aku mengusap wajah, sekalian kuhalau air hujan yang merayap, menerobos alis. Sebagian bulir-bulirnya menitik dari ujung hidungku. Hangat beradu dengan asin dari mataku. Tak terasa, fragmen cerita kita telah berusia dua puluh tahun.
Lamat-lamat kudengar suara, seperti tanah yang diketuk-ketuk. Iramanya beraturan. Makin lama makin lekat ke telinga,
“Sudah petang, Pah,” suara bernada alto terdengar lantang dari belakang, beradu dengan desau hujan.
Aku menoleh. Di hadapanku berdiri sosok anak kecil dan kakek-kakek bongkok. Dia pemilik rumah yang menjadi tujuan mudikku dan wajahnya serupa denganmu. Mereka berjalan dibawah satu payung besar. Sementara di tangan kiri putriku itu, menggelantung payung lipat tiga. Dia memanjangkan tangan kiri. Aku meraihnya. Meski percuma, aku tetap saja membuka payung tersebut. Semula langkahku kaku meninggalkan sungai keruh itu. Ngilu hatiku ketika kubayangkan kau terperosok ke dalamnya lalu melambai-lambaikan tangan seorang diri, tanpa aku. Tanpa panduan mataku!
Putriku mengguncang-guncang lenganku. Aku terkesiap.
“Sekarang mah, bantu Abah doain Dodo ya, Hadi,” kata kakek-kakek bongkok itu. Aku mengangguk-angguk. Kepalaku menoleh lagi. Kulihat plastik yang sedari tadi dikerjai renyai dan riak sungai. Ia telah sampai di tepi. Masih mengambang, menyindir rindu yang kupegang.



Rindu
Langit barat yang sedari tumpang-tindih perlahan lengang
Raut jingga, putih, merah, ungu, dan biru berangsur hilang
Awan-gemawan berwarna abu gelap seolah menyulap

Gerimis tak berwajah manis
Namun..
Aku masih menempelkan tubuh pada tembok pembatas
Kupaksakan kakiku menancap tegap pada jembatan yang beralas beton
Mataku mengerjap-ngerjap kepada riak sungai
Yang permukaannya bergelombang

Saat kutoleh..
Bayangan wajah emak dan abah
Pahit dan berurai airmata
Pedih dan berduri alur hidupku
Namun..
Aku akan pulang sambil memonggok cita-cita

Gerimis makin sadis
Rupanya mataku mengembun
Sekali kuhalau air hujan yang merayap, menerobos alis
Sebagian bulir-bulirnya menitik dari ujung hidungku
Hangat beradu dengan asin dari mataku
Tak terasa, fragmen cerita telah bertahun.
Lamat-lamat kudengar suara
Seperti tanah yang diketuk-ketuk
Beradu dengan desau hujan.
Aku menoleh..
Semula langkahku kaku
Ngilu hatiku ketika kubayangkan

Tanpa panduan mataku...
Sedari dikerjai renyai dan riak sungai
Mengambang, menyindir rindu yang kupegang.


No comments:

Post a Comment