Rindu
Langit barat yang sedari
tadi disesaki tumpang-tindihnya mega-mega, perlahan lengang. Raut
jingga, putih, merah, ungu, dan birunya berangsur
hilang begitu aku datang. Awan-gemawan
berwarna abu gelap seolah menyulap mereka. Entah kemana. Meniru dirimu
saja. Ya, dirimu, sahabat yang kurindu.
Gerimis tak
berwajah manis. Namun aku masih
menempelkan tubuh pada tembok pembatas, setinggi dada. Aku lemas, tapi kupaksakan kakiku menancap tegap pada jembatan yang
kini beralas beton. Mataku
mengerjap-ngerjap kepada riak sungai di bawahnya. Masih yang sama, hanya saja makin keruh. Permukaannya yang bergelombang
tengah mempermainkan sampah plastik, sepertinya bekas roti. Dari atasnya,
renyai menjitaki plastik itu sampai terdengar bunyi ‘tik tak tuk’. Tapi benda
ringan itu terus melayang-layang. Mendengar suaranya, kau sering menatap dengan
sembarang lalu mengeluh, ‘Yah, aku mah malah kalah sama plastik. Gak bisa
renang!’
Di sisi kanan paling dangkal
sungai itu, setelah aku menjual ikan hasil tangkapan dari sungai, kita sering
saling menyepakkan bola plastik. Bahkan saling melempar-lemparkan air, lalu
berbarengan kita mengucek mata sambil tetap tertawa. Apalagi kau selalu keliru
mencipratkan air pada mukaku. Sayang, yang kulihat kini bukan lagi pepasir yang
sering menggelitik telapak kaki kita. Pun air yang mengelus-elus daratan. Kini
pinggiran itu telah dihijabi semen yang mengeras, membatasi laju kita setinggi
dada. Anak-anak sekarang pun cukup bermain sepak bola sambil menindihkan kedua
siku mereka pada pembatas itu, lalu memijit ponsel masing-masing. Tak ada
erangan karena terdamprat bola atau cekikikan karena kelilipan air.
“Mulai sekarang, mari lupakan
cita-cita,” ujarmu waktu itu, sambil menyandar pada batang pohon pinus.
“Lalu bagaimana dengan
cita-citaku di kelas enam SD dulu, menjadi pengusaha ikan bakar? Terus,
cita-citamu menjadi pengelola wisata pohon pinus gimana, heh?” Aku tersengat
ajakan konyolmu.
“Sekarang kita udah lulus,
dilarang bercita-cita, ah,”
“Gak juga, ah. Sayang kan, …”
“ Sayang memang, sebab cita-cita
hanya menjadi hak anak orang kaya,”
“Gak bisa, kita pun berhak lah,”
“Berhak mimpi saja, sebab
cita-cita pun harus dijemput pakai uang, tanah, modal, kebun atau hewan ternak.
Dan, semua itu tak kita punya.”
“Gak lah, gak harus,”
Kau menggeleng-geleng, masih
dengan tatapan tak terarah padaku. Memang soal mempertahankan pendapat, kita
seperti terpengaruh oleh pohon pinus, keras dan lurus.
Entah kenapa, aku begitu
tersinggung. Tanpa permisi aku meninggalkanmu seorang diri. Saat kutoleh, kau tengah melirik kanan-kiri.
Kasian sekali!
Kubuktikan argumenku dengan modal
nekad, bayangan wajah emak dan abah, serta
ongkos pergi ke ibukota. Memang pahit dan berurai
airmata. Bertahun-tahun aku menjadi babu sebuah kedai ikan bakar pinja
(pinggir jalan) yang ramai pelanggan. Aku mencuci piring dan gelas bekas teh,
mengelap meja dan kursi, menyapu sampah dan gundukan abu rokok di kolong-kolong
meja, mempreteli isi perut ikan, serta meracik bumbunya. Setelah ilmu dan
uangku menumpuk, aku keluar. Kubuka kedai sendiri. Masih kerdil, pedih dan berduri alur hidupku, namun aku terlanjur berjanji. Aku akan pulang sambil memonggok cita-cita ke
hadapanmu. Kan kujungkir-balikkan pendapatmu itu.
Gerimis makin sadis. Rupanya mataku mengembun. Aku mengusap wajah, sekalian kuhalau air
hujan yang merayap, menerobos alis. Sebagian
bulir-bulirnya menitik dari ujung hidungku. Hangat
beradu dengan asin dari mataku. Tak terasa,
fragmen cerita kita telah berusia dua
puluh tahun.
Lamat-lamat
kudengar suara, seperti tanah yang diketuk-ketuk. Iramanya beraturan. Makin lama
makin lekat ke telinga,
“Sudah petang, Pah,” suara
bernada alto terdengar lantang dari belakang, beradu
dengan desau hujan.
Aku menoleh. Di
hadapanku berdiri sosok anak kecil dan kakek-kakek bongkok. Dia pemilik rumah
yang menjadi tujuan mudikku dan wajahnya serupa denganmu. Mereka berjalan
dibawah satu payung besar. Sementara di tangan kiri putriku itu, menggelantung
payung lipat tiga. Dia memanjangkan tangan kiri. Aku meraihnya. Meski percuma,
aku tetap saja membuka payung tersebut. Semula
langkahku kaku meninggalkan sungai keruh itu. Ngilu
hatiku ketika kubayangkan kau
terperosok ke dalamnya lalu melambai-lambaikan tangan seorang diri, tanpa aku. Tanpa panduan mataku!
Putriku mengguncang-guncang
lenganku. Aku terkesiap.
“Sekarang mah, bantu Abah doain Dodo ya, Hadi,” kata kakek-kakek bongkok itu. Aku mengangguk-angguk. Kepalaku menoleh lagi. Kulihat plastik yang sedari tadi dikerjai renyai dan riak sungai. Ia telah sampai di tepi. Masih mengambang, menyindir rindu yang kupegang.
“Sekarang mah, bantu Abah doain Dodo ya, Hadi,” kata kakek-kakek bongkok itu. Aku mengangguk-angguk. Kepalaku menoleh lagi. Kulihat plastik yang sedari tadi dikerjai renyai dan riak sungai. Ia telah sampai di tepi. Masih mengambang, menyindir rindu yang kupegang.
Rindu
Langit barat yang sedari tumpang-tindih perlahan
lengang
Raut jingga, putih, merah, ungu,
dan biru berangsur
hilang
Awan-gemawan berwarna abu gelap
seolah menyulap
Gerimis tak berwajah manis
Namun..
Aku masih menempelkan tubuh pada
tembok pembatas
Kupaksakan kakiku menancap tegap
pada jembatan yang beralas beton
Mataku mengerjap-ngerjap kepada riak sungai
Yang permukaannya
bergelombang
Saat kutoleh..
Bayangan
wajah emak dan abah
Pahit dan
berurai airmata
Pedih dan
berduri alur hidupku
Namun..
Aku akan
pulang sambil memonggok cita-cita
Gerimis makin sadis
Rupanya mataku mengembun
Sekali
kuhalau air hujan yang merayap, menerobos alis
Sebagian bulir-bulirnya menitik
dari ujung hidungku
Hangat beradu dengan asin dari
mataku
Tak terasa, fragmen cerita telah
bertahun.
Lamat-lamat kudengar suara
Seperti
tanah yang diketuk-ketuk
Beradu
dengan desau hujan.
Aku menoleh..
Semula langkahku kaku
Ngilu hatiku ketika kubayangkan
Tanpa panduan mataku...
Sedari
dikerjai renyai dan riak sungai
Mengambang,
menyindir rindu yang kupegang.
No comments:
Post a Comment